17 Februari 2009

MEMBONGKAR IDEOLOGI ARABISME DALAM ISLAM
Oleh Umdah El-Baroroh

Kecenderungan Arabisme sekarang ini telah masuk dalam regulasi Undang-Undang. Kecenderungan ini menurutnya bukan saja akan mereduksi Islam menjadi hanya berwajah Arab, tapi juga akan menutup kemungkinan untuk mengakomodir masuknya budaya-budaya lain dalam pemahaman agama.

“Sangat susah untuk memisahkan Islam dari Arabisme. Karena Islam lahir dan besar di Arab.”Ungkap Abdul Moqsith Ghazali, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) mengawali pembicaraannya dalam kesempatan diskusi bulanan JIL 28 Juni lalu. Perkembangan Islam pertama kali dimulai dari lokal masyarakat Arab. Sehingga pengaruh budaya Arab terhadap Islam sangat kentara sekali. Dalam teks Alquran banyak sekali kita jumpai khitab yang secara langsung ditujukan pada orang Arab. Bahkan 50% dari kandungan Alquran, menurut Moqsith menggambarkan lokal Arab.

Namun demikian pengaruh itu bagi Moqsith bukan berarti Islam meniru dan menjiplak apa adanya. Tetapi sebaliknya Islam nampak bermaksud memperbaiki dan memodifikasi budaya tersebut. Hal itu bisa dilihat dari beberapa praktek ibadah yang diakomodir Islam dari budaya Arab. Misalnya thawaf, tradisi jahiliyah mempraktekkannya dengan kondisi telanjang bulat sebagai pertanda ketulusan dan keterusterangan. Dalam Islam hal itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga nampak lebih religius. Akan tetapi upaya koreksi dan kritisisme Islam terhadap budaya Arab, menurut Moqsith, dalam beberapa hal terjebak pada ambiguitas. Ia mencontohkan pada kasus poligami. Praktek poligami yang berkembang di Arab sebelum Islam secara tekstual diakomodir dalam Alquran. Padahal secara fundamental tujuan perkawinan dalam Alquran sendiri adalah monogami. Hal ini menampkkan adanya semacam dualitas, yang oleh beberapa penafsir modern itu dipahami sebagai proses gradasi penerapan hukum. Namun hal itu menjebak Islam pada pembenaran praktek poligami.

Pengaruh Arabisme terhadap Islam muncul ketika terjadi proses sofistikasi Alquran di tangan penafsir. Di samping itu dalam beberapa praktek ritual ibadah juga nampak ada upaya pembingkaian dengan nuansa Arab. Kasus tentang pro kontra shalat, adzan, atau khutbah menggunakan bahasa non Arab tampak sekali menggambarkan dominasi kultur Arab.

Selain Abdul Moqsith Ghazali, diskusi yang digelar di kawasan Teater Utan Kayu itu sedianya juga menghadirkan Yusuf Rahman, dosen pasca sarjana UIN Jakarta. Tetapi karena ketidaksiapan Rahman, maka ia absen dari diskusi itu dan digantikan oleh Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda NU sekaligus juga Koordinator JIL. Ulil pada kesempatan tersebut mensinyalir bahwa perdebatan tentang pemisahan Islam dari pengaruh Arabisme, secara tak disadari sebenarnya telah berlangsung sejak permulaan abad kedua hijriah, atau bahkan akhir abad pertama hijriah. Perdebatan tentang apakah seorang pemimpin harus dari suku Quraisy atau tidak mengingatkan Ulil pada kuatnya syahwat klan Arab untuk mengatur dan memengaruhi penafsiran yang bernuansa Arab.

Imam Syafi’i, salah seorang imam madzhab yang menjadi kiblat mayoritas umat Islam Indonesia, disebut oleh Ulil dan Moqsith sebagai salah seorang yang ikut andil dalam melakukan Arabisasi pada ajaran Islam. Hal ini terbukti dari upaya Syafi’i untuk menjadikan Arab sebagai standar dalam mengatur kehidupan umat. Contoh kecil yang cukup remeh, misalnya, ditunjukkan oleh Moqsith dalam hal menetapkan halal-haram makanan. Bagi mereka (syafi’iyah) makanan yang halal adalah makanan yang dianggap baik oleh orang Arab. Sebaliknya makanan yang tidak baik bagi orang Arab maka dianggap haram. Praktek Arabisasi Islam ini bukan hanya menjadi sebuah wacana, tapi juga telah direproduksi melalui teks-teks yang ditulis oleh ulama abad pertengahan. Parahnya hal ini diterima oleh umat Islam apa adanya, tanpa dilihat secara kritis. Bahkan kecenderungan ini banyak mewarnai praktek beragama umat Islam sekarang. Inilah yang menjadi keprihatinan kedua pembicara tersebut.

Urgensi pemisahan pengaruh budaya Arab terhadap Islam, menurut Ulil, disebabkan adanya kecenderungan untuk mencampuradukkan antara ajaran agama dengan budaya. Sehingga ajaran-ajaran yang sifatnya partikular telah mengalami proses universalisasi yang luar biasa. Bahkan tidak jarang hal-hal yang merupakan fakta alamiah atau sosiologis telah dinaikkan menjadi fakta agama. Ulil mencontohkan tentang praktek qailulah atau kebiasaan tidur siang Nabi menjelang dzuhur. Praktek tidur seperti itu sering dipahami sebagai ajaran agama. “Padahal jika ditelusuri kebiasaan seperti itu lebih dipengaruhi oleh unsur geografis Arab yang cuacanya panas”, papar Ulil. Sehingga pada siang hari orang harus beristirahat dari aktifitasnya yang melelahkan. Kebiasaan demikian itu oleh masyarakat non Arab diimport sebagai bagian dari ajaran agama yang harus diikuti dan diteladani. “Bukan hanya sebatas itu”, lanjut Ulil. Banyak sekali unsur-unsur budaya Arab lain yang dipahami sebagai ajaran agama, seperti memanjangkan jenggot, menggunakan jubah, surban, penutup kepala, bahkan juga jilbab.

Kekhawatiran lain diutarakan oleh Moqsith. Menurutnya, kecenderungan Arabisme sekarang ini telah masuk dalam regulasi Undang-Undang. Kecenderungan ini menurutnya bukan saja akan mereduksi Islam menjadi hanya berwajah Arab, tapi juga akan menutup kemungkinan untuk mengakomodir masuknya budaya-budaya lain dalam pemahaman agama. “Oleh karena itu pemisahan Islam dari Arabisme harus segera dilakukan”, ucap Moqsith dengan tegas.

Meskipun Arabisme harus dipisahkan dari Islam, tapi bagi Ulil budaya dan peradaban Arab tetap harus diapresiasi. Menurutnya ada dua wajah Arab, pertama adalah Arab yang tertutup dan membenci budaya selain Arab serta menganggapnya rendah. Inilah yang ia sebut sebagai Arab xenophobic. Kedua, adalah Arab sebagai sebuah peradaban yang terbuka dan tidak membenci unsur lain di luar Arab. Sebagai orang yang lama mengenyam pendidikan di bangku pesantren, Ulil sangat tertarik dengan bahasa Arab. Menurutnya bahasa Arab saat ini adalah satu-satunya bahasa kuno yang mampu bertahan dan hidup. Bukan hanya itu, bahasa Arab juga mampu berkembang cukup pesat, tapi tetap tidak menyimpang jauh dari akarnya. Hal ini bisa dilihat dari bahasa Alquran dan bahasa Arab dalam literatur klasik yang masih tetap bisa dipahami oleh masyarakat modern. “Bahasa Arab juga mengandung kelenturan luar biasa”, papar Ulil dengan nada takjub. Oleh karena itu pemisahan Islam dari Arabisme, bagi Ulil hanya dilakukan terhadap Arab yang xenophobic.

“Apa yang tersisa dalam Islam bila harus dilucuti dari pengaruh Arabisme?” Pertanyaan yang dimunculkan oleh salah seorang pengunjung ini menyentak kesadaran seluruh peserta diskusi. “Tak ada yang harus dikhawatirkan dengan Islam ketika dipisahkan dari Arabisme”, tandas Ulil dalam menjawab pertanyaan tersebut. “Karena ketika Islam turun di Arab sebenarnya ia telah mengalami embodiment (pembadanan, pegejawantahan-pen) dengan budaya Arab. Ini terlihat dari bahasa, ekspresi, dan foklor yang digunakan. Oleh karenanya ketika Islam dibawa ke luar Arab, mutlak harus dilakukan reembodiment kembali. Dan menolak reembodiment dapat mengakibatkan keringnya spiritualitas dalam agama”, tegas Ulil mengakhiri pembicaraannya. []

ISLAM INDONESIA KINI: MODERAT KELUAR, EKSTREM DI DALAM
Oleh Novriantoni Kahar

Kini tengoklah, betapa absurdnya klaim kita tentang moderasi Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, intimidasi sistematis yang dilakukan kelompok-kelompok Islam baru ini bukan hanya tidak dapat dibendung, tapi dalam beberapa hal seperti dibiarkan dan mendapat dukungan moral-teologis dari beberapa eleman internal Muhammadiyah dan NU. Hanya beberapa figur penting seperti Gus Dur dan Syafii Ma’arif yang turun gunung dan bertarung menentang bentuk-bentuk intoleransi yang makin menggejala.

Seorang diplomat Indonesia pernah menulis tentang citra apa dari Indonesia yang kini mereka jual dalam dunia diplomasi. Menurutnya, ada tiga “citra unggulan” yang mereka “pasarkan” kepada dunia yang ingin menyimak sesuatu tentang Indonesia. Pertama, Indonesia adalah negara demokrasi dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Indonesia masuk tiga besar, selain India dan Amerika. Kedua, mayoritas Muslim Indonesia berpandangan Islam yang moderat, tidak dikuasai kalangan ekstremis. Distingsi moderat-ekstremis ini dianggap penting untuk membedakan Indonesia dengan kawasan dunia Islam lainnya. Ketiga, selain demokratis dan moderat, Indonesia juga negeri yang pluralis dari segi apapun.

Itulah tiga citra Indonesia yang menjadi modal dasar Indonesia dalam berdiplomasi dengan dunia luar. Dan tampaknya, bukan hanya kalangan diplomat yang menjajakan ketiga citra itu. Dua wakil organisasi Islam terbesar di Indonesia yang dianggap moderat, pun tak ketinggalan dalam promosi citra Islam moderat ini ke dunia luar. Dalam rangka ini, beberapa waktu lalu Muhammadiyah menyelenggarakan World Peace Forum II, sementara Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar International Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Kita pantas bangga dengan citra Islam Indonesia yang menjadi keuntungan strategis dalam berdiplomasi dengan dunia luar itu. Yang terabaikan oleh banyak pihak, tidak terkecuali organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan NU adalah: (1) citra tidak selamanya sesuai dengan fakta dan realita; (2) citra tersebut tidak datang atau terberi dengan sendirinya. Ia merupakan bentukan dari pergulatan sejarah panjang Islam di Indonesia; (3) sejalan dengan dua poin sebelumnya, citra tersebut tentu dapat berubah sewaktu-waktu, terutama kalau kita tidak waspada dan senantiasa mendekatkannya dengan realita.

Rentannya Citra Moderasi

Tentang poin pertama, kini kita dapat melihat betapa rapuh dan rentannya citra Indonesia sebagai negeri meyoritas Muslim yang demokratis, moderat dan pluralis itu untuk bergeser. Arus reformasi tidak hanya mengantarkan Indonesia ke jajaran negara-negara demokratis di dunia, tapi juga mengubah peta pergerakan dan corak Islam. Sejak reformasi bergulir, konfigurasi lama tentang Islam Indonesia yang biasa kita anggap didominasi dua menara kembar moderasi Islam Indonesia (Muhammadiyah dan NU), kini mulai bergeser.

Beberapa gerakan Islam baru muncul dan tampil lebih garang dari Muhammadiyah dan NU. Dan tak jarang, pada tingkat wacana dan aksi, mereka tampil lebih nyaring dan leading daripada Muhammadiyah dan NU. Sementara sibuk menjual citra moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar, Muhammadiyah dan NU tak jarang alpa untuk berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-insitusi penyangga moderasi Islam itu. Bahkan, dalam beberapa kasus, wacana dan aksi yang dikembangkan keduanya idem dito atau hanya reaksi terhadap genderang yang ditabuh kalangan yang tidak bisa disebut moderat.

Jika ini terus terjadi, dan ini poin kedua, tidak mustahil dalam beberapa tahun ke depan terjadi pergeseran citra. Kita tahu, fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam Indonesia yang cukup panjang. Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang mereka mainkan. Karena itu, kedua organisasi ini dapat disebut sebagai dua institusi civil society yang amat penting bagi proses moderasi negeri ini.

Dan di belahan dunia Muslim manapun, kita nyaris tidak menemukan organisasi sosial-keagamaan yang begitu besar, moderat, tua, dan mengakar di kalangan masyarakat sebagaimana Muhammadiyah dan NU. Karena itu, ketangguhan kedua aset berharga ini dalam menjaga citra moderasi Islam Indonesia tetap tidak dapat dipandang sebelah mata. Namun, ketika kedua organisasi ini tidak menjalankan fungsi pendidikan dan sosialnya dengan semestinya, bukan mustahil peran-peran tersebut akan direbut oleh mereka yang tidak peduli dengan proyek moderasi Islam di Indonesia.

Kini tengoklah, betapa absurdnya klaim kita tentang moderasi Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, intimidasi sistematis yang dilakukan kelompok-kelompok Islam baru ini bukan hanya tidak dapat dibendung, tapi dalam beberapa hal seperti dibiarkan dan mendapat dukungan moral-teologis dari beberapa eleman internal Muhammadiyah dan NU. Hanya beberapa figur penting seperti Gus Dur dan Syafii Ma’arif yang turun gunung dan bertarung menentang bentuk-bentuk intoleransi yang makin menggejala. Akibatnya, setelah SKB moderat tentang Ahmadiyah keluar, mereka masih menuntut Keputusan Presiden untuk pembubaran Ahmadiyah. Mereka telah diberi hati, tapi masih meminta jantung.

Perlu Mengambil Langkah

Dan sayangnya, tidak ada teriakan ”cukup!” baik oleh pemerintah maupun ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU terhadap ekspresi intoleransi agama, baik terhadap Ahmadiyah maupun lainnya. Saya kira, kini sudah tiba saatnya untuk melakukan langkah-langkah strategis guna menghentikan proses ekstremisme Islam di Indonesia. Telah banyak bukti bahwa kearifan dalam menuntaskan persoalan-persoalan keagamaan sudah berganti dengan kericuhan. Aksi gebuk massa telah menjadi cara terfavorit dalam merespons isu agama dan gosip murahan sekalipun.

Jejaring sosial yang bermusyawarah dan bermufakat seakan tiada lagi berguna. Pekik stigmatisasi terhadap suatu kelompok (aliran/kelompok sesat, proyek Kristenisasi, atau cap-cap lainnya) sudah cukup untuk menggerakkan massa untuk bertindak. Hancurkan dulu, urusan belakangan. Ini persis seperti taktik kuno sepakbola Inggris, kick and rush (tendang, lalu lari).

Jika taktik yang tidak elok dan tak bertanggungjawab ini terus berjalan dan sering tidak diproses secara hukum, lama-lama kita akan melihat kekerasan menjadi proyek dan semacam karir. Itu pastilah akan merusak sendi-sendi harmoni sosial yang berkesesuaian dengan Indonesia yang demokratis, moderat, dan pluralis. Saya kira, semua kita berkepentingan untuk merawat, mengawetkan, dan mendekatkan citra Indonesia yang demokratis, moderat, dan pluralis itu dengan realita. Jika tidak, bukan hanya orang lain yang tertipu karena membeli citra yang salah, namun kita pun akan terkena getah-getahnya. []
ULAMA ARAB DAN ULAMA INDONESIA
Oleh Abd Moqsith Ghazali

Karya ulama Indonesia tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “pulau terasing”, para ulama Indonesia telah menghasilkan karya monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Timur Tengah. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal dalam negeri ke ulama Arab tak perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan itu adalah ulama Indonesia sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas ulama Indonesia ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Arab.

Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.

Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam. Tak pelak lagi, kitab-kitab yang dikreasikan para ulama Indonesia kontemporer agak sulit memasuki gelanggang percaturan intelektual Timur Tengah. Karya ulama pribumi kini tak lagi memiliki wibawa di hadapan ulama Arab.

Padahal, banyak karya ulama `ajam yang brilian. Misalnya, karya gemilang KH MA Sahal Mahfudz Thariqah al-Hushul `ala Ghayah al-Ushul, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo Jawa Timur menulis buku al-Ahkam al-Syar`iyah bayna al-Tsabat wa al-Tathawwur. Quraish Shihab menulis buku tafsir, al-Misbah. Sejumlah kiai membuat metode baca al-Qur’an secara kilat, seperti metode Qira’ati, Iqra’, al-Bayan, dan Hattaiyah. Bahkan, kini ditemukan metode cepat membaca kitab kuning. Yaitu, metode amtsilati yang dicipta KH Taufikul Hakim, dari Jepara Jawa Tengah. Dengan metode ini, para pelajar Islam non-Arab tak perlu menghabiskan banyak waktu hanya untuk sekedar membaca kitab berbahasa Arab yang tanpa titik-koma, syakl atau harakat. Melalui metode ini, kun fayakun, setiap orang bisa dengan mudah membaca kitab kuning.

Dengan fakta ini, dua hal bisa dikatakan. Pertama, karya ulama Indonesia tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “pulau terasing”, para ulama Indonesia telah menghasilkan karya monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Timur Tengah. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal dalam negeri ke ulama Arab tak perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan itu adalah ulama Indonesia sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas ulama Indonesia ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Arab. Saya kira, ulama Indonesia setingkat KH Sahal Mahfuzh, Ustadz Quraish Shihab, Prof. Nurcholish Madjid, KH Husein Muhammad, KH Masdar F. Mas’udi tak kalah alim dibanding ulama kontemporer Arab.

Kedua, ini menjadi pelajaran bagi intelektual muda Islam Indonesia untuk tak canggung membuat karya-karya besar Islam. Bukankah, para ulama Indonesia itu cukup percaya diri dalam berkarya. Sebab, terus terang, inferioritas atau perasaan rendah diri di hadapan ulama Arab adalah salah satu faktor yang menghambat produktifitas intelektual ulama Indonesia selama ini. Para ulama `ajam harus terus membuktikan bahwa karya-karya kreatif Islam bisa di kelola dengan baik di luar tanah dan kawasan Arab. []

ISLAM DAN NASIONALISME
KH. Abdul Syakur Yasin, MA.
Kita adalah bangsa Indonesia, kebetulan ada yang beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lain sebagainya. Kita sekarang telah menjadi bangsa yang merdeka, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa di dunia yang lain. Kita dihargai dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain dan kehadiran kita dirasakan mereka. Ini adalah berkat perjuangan bangsa Indonesia seluruhnya. Karena perjuangan pahlawan-pahlawan bangsa kita yang telah mengorbankan jiwa, raga dan harta benadanya untuk kemerdekaan kita. Islam mengharuskan bersyukur, apabila bersyukur tuhan akan menambahkan nikmatnya kepada kita. kepada siapakah kita patut bersyukur? Kepada Allah swt. dan kepada pahlawan-pahlawan bangsa Indonesia yang hatinya telah dilimpahi rahmat oleh Tuhan dengan semangat patriotisme dan nasionalisme yang sangat besar sehingga rela meninggalkan anak istri yang dicintainya, melepaskan harta kekayaan yang mereka kumpulkan denga kerirngat, untuk kemerdekaan kita. kemudian keapda pemimpin-pemimpin kita yang dengan tekun bekerja dengan tenaga dan fikiran untuk memakmurkan negara Indonesia. kemudian berterimaksih kepada pahlawan –pahlawan dunia yeng telah berjuang membela kemanusiaan. Juga keapda tokoh-okoh Islam yang berdedikasi tinggi untuk mengajarkan kepada kita supaya cinta tanah iar, karena "cinta tanah air itu adalah sebagaian dari iman".
sejarah telah mencatat bahwa bangsa Indonesia yang beragama Islam telah mengambil bagian yang paling besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. islam melarang mengingkari jasa orang.

SUGENG RAWUH

Mangga Calik.............!!!